Menyikapi Stimulus Sosial Di Tengah Pandemi Covid-19

By Abdi Satria


Oleh : M. Ridha Rasyid

Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan

"Saya jadi bingung, harga harga naik. Ada data yang dobel, perlu diperbaiki. Terjadi pengurangan nilai bantuan. Carikanlah pengganti saya" . Ini rangkuman kata kata yang dilontarkan seorang pejabat ketika "curhat" (kalau saya, tidak mau menggunakan istilah ini, tapi merupakan upaya mencari simpati) kepada media atas sejumlah keluhan atas lambannya dan tidak meratanya pendistribusian kebutuhan pokok masyarakat miskin maupun yang terdampak pandemi covid19 dengan penerapan pembatasan sosial berskala besar di berbagai kota. 

Tulisan saya kemarin, dengan judul PSBB DAN KISRUH BANSOS telah menguraikan hal hal yang mempengaruhi "gaduhnya" di media tentang penyaluran kebutuhan pokok masyarakat itu, antara lain Pertama, antusiasme individu, organisasi, lembaga swadaya yang begitu besar terhadap upaya untuk mengurangi beban warga yang tertimpa musibah/bencana, sehingga nyaris tidak terkontrol oleh pihak penerima bantuan, terutama dari unsur pemerintah, ke dua manajemen yang diterapkan untuk itu kacau balau, ketiga administrasinya tidak cermat.

Dan inilah potensi pertama penyelewengan, keempat, pemetaan distribusi bantuan akibat data yang tidak valid dan komprehensif, kelima, kepemimpinan yang lemah dari penanggung jawab penerima bantuan, termasuk di dalamnya kepala daerah setempat, keenam, yang membagikan di lapangan tidak tepat sasaran atau bahkan terjadi "penyunatan" volume bantuan, ketujuh, yang lebih parah, bantuan yang dikucurkan pemerintah di tengah derasnya bantuan sosial dari berbagai pihak, dicampur-adukkan, sehingga tidak jelas lagi, walaupun sejatinya mereka tahu sangat terang perbedaannya, pengaturan asal bantuan menjadi hal yang lumrah terjadi, ke delapan, lemahnya pengawasan dan pelaporan oleh pengelola bantuan itu. 

Dari hal tersebut di atas, yang paling krusial di hadapi oleh pemerintah daerah dalam menerapkan kebijakan pembatasan itu ada dua : satu, tidak adanya data valid, akurat dan menyeluruh serta "adil" ( ini istilah yang tidak dikenal dalam dunia statistik, tetapi menjadi hal sangat urgent, ketika kita ingin mewujudkan etika berpemerintahan yang menjunjung tinggi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat) , dua, pola dan manajemen distribusi dalam situasi rentan belum dimiliki oleh dinas terkait.

Mereka bekerja hanya menurut rasa (Tapi lalu di klaim telah bekerja mati matian, bahkan tidak tidur beberapa malam), sementara rakyat berharap menurut fakta yang ada di lapangan. Ini semua terjadi, selain tidak dikuasainya manajemen mitigasi dan tanggap bencana, juga kurangnya pengetahuan, juga ketegasan dalam bersikap mengatasi situasi "silang tuduh" oleh kepala daerah dalam menyusun rencana kerja penerapan pembatasan sosial berskala besar itu.

"Yang penting, terapkan dulu sambil melihat perkembangan nanti" ini kata yang sering terungkap dalam memutuskan suatu tindakan. Tiba masa tiba akal, begitu mungkin maksudnya. Yang dalam manajemen pemerintahan modern, itu sangat berbahaya.

Pemerintahan itu bukan institusi "coba coba", namun harus dikelola dengan perencanaan matang, komprehensif serta melakukan pemantauan dan evaluasi. Dan, juga sama pentingnya, adalah kemampuan pemimpin untuk menjelaskan apa yang diperoleh serta kelemahan apa yang ada secara "jujur" dan terbuka. Ini yang disebut responsibility of leadership atau sering juga dikatakan accountability of leadership.

Artinya, tanggung jawab pemimpin itu bisa memberikan keterangan "apa adanya" bukan ada apanya. Menyampaikan sisi keberhasilan dengan segala "kiat" melingkupinya serta menjelaskan secara gamblang pula mengapa sebuah program atau kebijakan itu gagal tercapai. Ini perlu ada dalam penanganan bencana. Wajib ditumbuhkan dalam manajemen musibah. Bukan seperti kata pejabat sebagaimana awal tulisan ini. Itu bukan sikap wajar seorang pemimpin, tetapi keputus-asaan atas kekurangan yang dimiliki serta salahnya dari mula rencana yang dipersiapkan. 

Teriakan rakyat

Penerapan pembatasan sosial berskala besar, adalah kebijakan yang amat sangat dipertimbangkan ketika ingin diusulkan. Ini bukan soal "gagah- gagahan" ini bukan persoalan "latah" oleh suatu pemerintahan di daerah. Ini bukan pula persoalan "keberanian" menempuh difficult policy, tetap kemampuan suatu wilayah memenuhi kebutuhan pokok masyarakatnya selama kurun waktu penerapan kebijakan itu. Ini bukan hal mudah.

Hal yang amat terakhir, jika bisa dikatakan janganlah hal ini dijalankan. Konsekuensinya terlalu besar. Mengapa besar? Itu dikarenakan beberapa faktor, pertama, sebagaian besar aktifitas ekonomi masyarakat "dipaksa dihentikan", kedua, kegiatan masyarakat dipersempit, ketiga, interaksi dan komunikasi dunia luar melalui daring dan virtual, keempat keragaman informasi yang "mencemaskan", ke lima, "menghayal" kapan ini segera berakhir.

Ujungnya adalah stress, imunitas menurun, stamina akan terimbas dengan belum sampainya kontribusi pangan dari pemerintah. Lalu, mereka berteriak dengan meme bermacam macam di media sosial. Mereka buat ilustrasi yang "mengolok olok" dengan karikatur yang mengundang tawa, ada pula yang merangkai kata menunjukkan kekesalan dan penyesalan seraya bertanya mengapa ini harus terjadi? (kayak bait lagu saja) . Selain itu, dengan memanfaatkan televisi ataupun radio dengan diskusi hangat dan "mencaci". Dalam situasi seperti ini, apa saja bisa terjadi ke publik. 

Keras, miris serta prihatin. Itu kesimpulan yang ada atas bantuan kebutuhan pokok masyarakat yang kurang tersalur dengan baik dalam pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar di sejumlah daerah. Olehnya itu, ini menjadi pembelajaran bagi daerah yang saat ini masuk zona merah pandemi covid19 untuk mempertibangkan "masak masak" bila ingin menerapkan karantina wilayah. Berfikir banyak kali-lah.

Peran media

Media pers berperan besar "memediasi" teriakan rakyat yang merasakan "ketidak-adilan" penyaluran dan "penjatahan" kebutuhan pokok, sebagai tanggung jawab pemerintah atas penempuhan kebijakan tersebut. Ini sejatinya bukan bantuan sosial (kecuali yang dibagikan oleh sejumlah organisasi masyarakat, profesi, lembaga serta lainnya) oleh pemerintah kepada masyarakat.

Namun, ini Tanggung Jawab (sengaja di buat huruf kapital, menggambarkan betapa kehadiran pemerintahan memenuhi hak dasar masyarakat merupakan "harga mati. Ini perlu diketahui dan diawasi oleh media, bahwa ini bukan bantuan tetapi ini stimulus kebijakan yang diambil pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar yang menjadi urusan pokok. 

Media sedapat mungkin menelisik lebih dalam dan jitu melihat "penyelewengan" dari hulu ke hilir, abuse of power oleh pihak yang diberi otoritas melaksanakan hal ini. 

Pemerintah daerah menerapkan prinsipal transparasi dalam pengelolaan anggaran dari hasil realokasi, harus memenej dengan baik bantuan berbagai pihak melalui pemerintah daerah ( ini paling rawan karena pertanggungjawaban administrasinya lebih "longgar") dan terakhir mencari siapa saja yang belum "tersentuh" sama sekali bantuan maupun stimulus pemerintah ini. Teman teman wartawan, harus bisa menjadi "jembatan" keadilan bagi masyarakat, anda sedapat mungkin berperan sebagai "laboratorium"informasi yang mengolah sumber informasi yang berimbang serta kejujuran mengungkap fakta dan data yang sesungguhnya. 

Wallahu 'alam bisshawab 

Makassar , 26 April 2020 Miladiah/3 Ramadhan 1441 Hijriyah